Koruptor Juga Harus Belajar ke Cina
Melihat berbagai akibat korupsi terhadap kehidupan masyarakat dan bernegara, Cina menerapkan hukuman yang keras
terhadap koruptor. Pilihannya tak lagi penjara atau denda, tapi hukuman mati atau penjara seumur hidup. Haruskah
Indonesia meniru Cina?Di mana terdapat mayarakat yang selalu menilai manusia berdasarkan apa yang dimiliki, di
situlah korupsi bersemai. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan
uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa, dan mereka menjadi sangat dihormati – hal yang sangat
berlawanan dengan etika moral. Dalam sejarah manusia, peradaban yang menekankan nilai materi sebagai ukuran
membuat korupsi bertahan hidup sangat lama. Korupsi sudah ada sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai
abad pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi juga terjadi di berbagai negara, tak terkecuali di negara-negara maju
sekalipun. Amerika Serikat yang ekonomi dan politiknya mapan, juga tak bebas dari praktek curang di bidang ekonomi
alias korup. Namun, sebaliknya pada masyarakat yang primitif di mana ikatan-ikatan sosial masih sangat kuat dan
kontrol sosial yang efektif, korupsi relatif jarang terjadi.Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha
pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif lambat, sehingga setiap orang atau sebuah lembaga
menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalan-imbalan, dengan cara memberikan uang pelican
alias sogok. Praktek ini akan berlangsung terus menerus, sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan
masyarakat.
Soal kontrol mengontrol korupsi, pemerintah Cina lebih memilih cara keras untuk membuat nyali calon koruptor menjadi
ciut, dengan cara hukuman mati. Itulah yang membuat nasib koruptor di Indonesia masih lebih baik ketimbang
“sejenisnya” di Cina. Itulah yang menimpa mantan pemimpin Sinopec, Chen Tonghai. Dia divonis
hukuman mati oleh Pengadilan Menengah No 2 Beijing pada 15 Juni 2007 silam. Tonghai terbukti menerima uang suap
195,73 juta yuan (US$ 28,64 juta) terhitung sejak 1999 hingga Juni 2007. Ia mengundurkan diri tiba-tiba sebagai
pemimpin Sinopec, setelah kasus suap terbongkar. Penyimpangan dilakukan Tonghai saat menjabat wakil manajer
Sinopec unit China Petroleum Corp, kemudian berlanjut ketika menjabat general manager, wakil presiden dan direktur
Sinopec.Berdasarkan laporan-laporan sebelumnya, Tonghai disidik pada Mei 2007 dan kemudian ditangkap di bandara
Beijing, ketika berusaha melarikan diri ke luar negeri Juni 2007. “Tonghai menerima suap dalam jumlah luar biasa
besar, cukup pantas untuk sebuah hukuman mati. Tapi dia menyesalinya, lalu memberikan masukan-masukan
mengenai tindakan kejahatan orang-orang lainnya, serta mengembalikan semua suap, penundaan hukuman
diberikan,” kata surat kabar Xinhua. Di China, penundaan hukuman mati pada praktiknya sering berubah menjadi
hukuman seumur hidup. Asalkan, pelaku benar-benar menyesali perbuatannya. Vonis terhadap Tonghai semakin
menambah panjang daftar para pejabat atau mantan pejabat yang dihukum berat karena korupsi.Saat ini, menurut
Komisioner Kementerian Supervisi China Zhang Xuixin, China menerapkan tiga langkah strategis untuk memberantas
korupsi. Ketiga langkah ini adalah memperbaiki sistem birokrasi, meningkatkan pendidikan terhadap pegawai negeri
(PNS) dan pengawasan terhadap kekuasaan. Zhang juga mengaku pola pemberantasan korupsi di China bisa sukses
karena menghukum berat para koruptor. “Pemerintah tidak peduli berapa tinggi jabatan dan besar kekuasaan.
Kalau melanggar, kita hukum,” jelas Zhang.Korupsi bukanlah hal yang baru di China. Diperkirakan sudah ada
sejak zaman Dinasti Zhou (1027-771 SM). Saking mudahnya menemukan kasus korupsi di negara tersebut, ahli sejarah
China Wang Yanan menyimpulkan, ‘seluruh sejarah China adalah penyelewengan’.Korupsi juga diyakini
sebagai biang jatuhnya Guomindang atau Partai Nasionalis yang didirikan Sun Yat-sen dalam perang saudara. Bahkan,
di masa pemerintahan Mao Zedong (1949-1976), Republik Rakyat China (RRC) juga banyak kasus korupsi. Ross Terrill
dalam bukunya The New Chinese Empire (2003) menulis, satu persen penduduk China memiliki 40 persen
kemakmuran, sebagian besar diperoleh dari melalui korupsi.Memang, kebanyakan orang beranggapan China sangat
keras menerapkan hukum dalam memberantas korupsi. Sejak kasus Chen Kejie pada September 2000, tidak sedikit
pejabat tinggi dihukum mati dan mendekam di bui seumur hidup akibat korupsi. Sekadar informasi saja, tahun lalu ada
1.700 orang dinyatakan bersalah (dengan berbagai kasus) dan dieksekusi mati.Di sisi lain, penerapan hukuman keras
tidak serta merta membinasakan korupsi dari bumi China. Hebatnya lagi, di negeri itu tidak ada istilah tebang pilih.
Pejabat atau rakyat biasa hukum tetap berlaku bagi mereka yang melanggar. Apalagi jika terbukti, sudah pasti regu
tembak yang akan mengeksekusi.Kendati sudah banyak koruptor meregang nyawa, tetap saja penegakan hukum China
banyak dikritik. Mekanisme penegakan hukum, peradilan di China dinilai masih lemah dan kurang didasarkan azas
keadilan. Okelah masih banyak cacatnya. Tapi semangat pemerintah China untuk memerangi korupsi tetap perlu
diacungi jempol.Lalu, bagaimana dengan penegakan hukum di Indonesia? Meski kebijakan antikorupsi sedang gencar
digaungkan, namun posisi Indonesia relatif belum membaik. Malahan, belakangan kasus korupsi tambah marak. Kasus
Bank Century yang kini jadi pergunjingan menggambarkan betapa sulitnya memerangi korupsi. Menurut data yang
dikeluarkan Transparency International, skor corruption perceptions index (CPI) Indonesia tahun 2009 adalah 2,8.
Artinya, Indonesia masih dipandang rawan korupsi oleh para pelaku bisnis maupun pengamat/analis. Skor Indonesia
yang sangat rendah menunjukkan usaha pemberantasan korupsi masih jauh dari berhasil dan komitmen pemerintah
terhadap terbentuknya tata kelola pemerintahan yang lebih baik.Mungkin satu-satunya hal positif adalah Indonesia
merupakan satu dari lima negara di Asia yang telah meratifikasi konvensi PBB menentang korupsi. Setidaknya, ada
itikad baik dari pemerintah untuk memerangi penyakit ini. Namun bukankah praktek di lapangan jauh lebih baik daripada
sekadar merativikasi sebuah perjanjian? (dari berbagai sumber)Soal kontrol mengontrol korupsi, pemerintah Cina lebih
memilih cara keras untuk membuat nyali calon koruptor menjadi ciut, dengan cara hukuman mati. Itulah yang membuat
nasib koruptor di Indonesia masih lebih baik ketimbang “sejenisnya” di Cina. Itulah yang menimpa mantan
pemimpin Sinopec, Chen Tonghai. Dia divonis hukuman mati oleh Pengadilan Menengah No 2 Beijing pada 15 Juni
2007 silam. Tonghai terbukti menerima uang suap 195,73 juta yuan (US$ 28,64 juta) terhitung sejak 1999 hingga Juni
2007. Ia mengundurkan diri tiba-tiba sebagai pemimpin Sinopec, setelah kasus suap terbongkar. Penyimpangan
Nuansa Persada Online
http://nuansaonline.net Powered by Joomla! Generated: 20 April, 2011, 14:37
dilakukan Tonghai saat menjabat wakil manajer Sinopec unit China Petroleum Corp, kemudian berlanjut ketika menjabat
general manager, wakil presiden dan direktur Sinopec.Berdasarkan laporan-laporan sebelumnya, Tonghai disidik pada
Mei 2007 dan kemudian ditangkap di bandara Beijing, ketika berusaha melarikan diri ke luar negeri Juni 2007.
“Tonghai menerima suap dalam jumlah luar biasa besar, cukup pantas untuk sebuah hukuman mati. Tapi dia
menyesalinya, lalu memberikan masukan-masukan mengenai tindakan kejahatan orang-orang lainnya, serta
mengembalikan semua suap, penundaan hukuman diberikan,” kata surat kabar Xinhua. Di China, penundaan
hukuman mati pada praktiknya sering berubah menjadi hukuman seumur hidup. Asalkan, pelaku benar-benar menyesali
perbuatannya. Vonis terhadap Tonghai semakin menambah panjang daftar para pejabat atau mantan pejabat yang
dihukum berat karena korupsi.Saat ini, menurut Komisioner Kementerian Supervisi China Zhang Xuixin, China
menerapkan tiga langkah strategis untuk memberantas korupsi. Ketiga langkah ini adalah memperbaiki sistem birokrasi,
meningkatkan pendidikan terhadap pegawai negeri (PNS) dan pengawasan terhadap kekuasaan. Zhang juga mengaku
pola pemberantasan korupsi di China bisa sukses karena menghukum berat para koruptor. “Pemerintah tidak
peduli berapa tinggi jabatan dan besar kekuasaan. Kalau melanggar, kita hukum,” jelas Zhang.Korupsi bukanlah
hal yang baru di China. Diperkirakan sudah ada sejak zaman Dinasti Zhou (1027-771 SM). Saking mudahnya
menemukan kasus korupsi di negara tersebut, ahli sejarah China Wang Yanan menyimpulkan, ‘seluruh sejarah
China adalah penyelewengan’.Korupsi juga diyakini sebagai biang jatuhnya Guomindang atau Partai Nasionalis
yang didirikan Sun Yat-sen dalam perang saudara. Bahkan, di masa pemerintahan Mao Zedong (1949-1976), Republik
Rakyat China (RRC) juga banyak kasus korupsi. Ross Terrill dalam bukunya The New Chinese Empire (2003) menulis,
satu persen penduduk China memiliki 40 persen kemakmuran, sebagian besar diperoleh dari melalui korupsi.Memang,
kebanyakan orang beranggapan China sangat keras menerapkan hukum dalam memberantas korupsi. Sejak kasus
Chen Kejie pada September 2000, tidak sedikit pejabat tinggi dihukum mati dan mendekam di bui seumur hidup akibat
korupsi. Sekadar informasi saja, tahun lalu ada 1.700 orang dinyatakan bersalah (dengan berbagai kasus) dan
dieksekusi mati.Di sisi lain, penerapan hukuman keras tidak serta merta membinasakan korupsi dari bumi China.
Hebatnya lagi, di negeri itu tidak ada istilah tebang pilih. Pejabat atau rakyat biasa hukum tetap berlaku bagi mereka
yang melanggar. Apalagi jika terbukti, sudah pasti regu tembak yang akan mengeksekusi.Kendati sudah banyak
koruptor meregang nyawa, tetap saja penegakan hukum China banyak dikritik. Mekanisme penegakan hukum, peradilan
di China dinilai masih lemah dan kurang didasarkan azas keadilan. Okelah masih banyak cacatnya. Tapi semangat
pemerintah China untuk memerangi korupsi tetap perlu diacungi jempol.Lalu, bagaimana dengan penegakan hukum di
Indonesia? Meski kebijakan antikorupsi sedang gencar digaungkan, namun posisi Indonesia relatif belum membaik.
Malahan, belakangan kasus korupsi tambah marak. Kasus Bank Century yang kini jadi pergunjingan menggambarkan
betapa sulitnya memerangi korupsi. Menurut data yang dikeluarkan Transparency International, skor corruption
perceptions index (CPI) Indonesia tahun 2009 adalah 2,8. Artinya, Indonesia masih dipandang rawan korupsi oleh para
pelaku bisnis maupun pengamat/analis. Skor Indonesia yang sangat rendah menunjukkan usaha pemberantasan
korupsi masih jauh dari berhasil dan komitmen pemerintah terhadap terbentuknya tata kelola pemerintahan yang lebih
baik.Mungkin satu-satunya hal positif adalah Indonesia merupakan satu dari lima negara di Asia yang telah meratifikasi
konvensi PBB menentang korupsi. Setidaknya, ada itikad baik dari pemerintah untuk memerangi penyakit ini. Namun
bukankah praktek di lapangan jauh lebih baik daripada sekadar merativikasi sebuah perjanjian? (dari berbagai sumber)
Nuansa Persada Online